:::: MENU ::::

Kamis, 11 Juli 2019

“Dunia ini penuh ilusi. Kita tertipu oleh semesta yang seakan-akan menampilkan diri sebagaimana adanya. Padahal, apa yang kita lihat adalah yang semata-mata keterbatasan inderawi manusia.”
-Neil de Grasse Tyson dalam Cosmos: A Spacetime Odyssey-

Ilmu astrofisika yang digeluti Tyson telah menemukan berbagai cara untuk melihat realitas yang tidak bisa ditangkap oleh indera manusia yang terbatas. Penemuan seperti sinar inframerah, x-ray, gamma, gelombang radio, dst. memvisualisasi dunia yang tak bisa ditangkap oleh kasat mata. Penemuan teleskop yang bisa mengumpulkan cahaya hasil ledakan galaksi dalam jarak ratusan tahun cahaya, mikroskop yang bisa melihat reaksi atom-atom bekerja pada setiap benda, visualisasi gelombang suara dalam musik. Namun, apakah ilusi hanya persoalan keterbatasan indera?
Benar bahwa kemajuan ilmu astrofisika berhasil menemukan cara mengungkap realitas lain,   tapi bagaimana jika cara pandang yang mendasari ilmu ini pun ternyata juga ilusi?
Astrofisika merupakan bidang yang melihat ruang sebagai kumpulan entitas terukur yang tak seluruhnya bisa dilihat kasat mata. Lefebvre menyebutnya sebagai realistic illusion, salah satu ilusi terhadap ruang yang ia ajukan. Ilusi ini bertumpu pada tradisi Aristotelesian yang menganggap bahwa ruang dan watku adalah kategori-kategori yang berisi kehadiran yang bisa dicerap. Pemahaman ini bersifat materialistik, dan meyakini bahwa benda-benda memang memiliki eksistensi yang tidak seluruhnya dipahami oleh subyek. Dengan demikian, perkembangan pengetahuan astrofisika dan ilmu lain yang sealiran mengarah pada kemajuan teknologi untuk melihat rangsangan-rangsangan tanda eksistensi yang tidak bisa ditangkap oleh indera manusia (teleskop, miksroskop, sinar x-ray, dst.)
Selain daripada ini, terdapat ilusi lain yang disebut transparent illusion. Sebaliknya dari pemahaman sebelumnya, ruang dianggap sebagai bagian dari alam pikir (mental thing), sebagai tempat eksisnya hal-hal ideal hasil perenungan. Ruang dalam pemikiran ini tak memiliki ikatan dengan pengalaman dan kemewaktuan. Dalam tradisi Kantian, (yang diilhami dari Descartes) ruang terbentuk dari kesadaran a prioridan sebagai bagian dari ranah struktur ideal. Ruang dipisahkan dari dimensi waktu sehingga setiap ide berlaku di ruang yang abadi dan dalam bentuk (form) yang tetap.
Dalam penafsiran sederhana, pemahaman ruang terbagi menjadi secara materialis di satu sisi dan secara idealis di sisi yang lain. Kedua pemahaman inilah yang berpengaruh pada pemaknaan ruang pada umumnya. Oleh Lefebvre, kedua pemahaman ini ditempatkan sebagai ilusi (!?) Lalu apa sebenarnya ruang yang diajukan oleh Lefebvre?

Ruang dalam Wacana Arsitektur
Dalam ilmu arsitektur, pemahaman kata ruang juga memiliki dua pemahaman/perlakuan berbeda. Di satu sisi, arsitektur pra-modern melihat ruang sebagai kumpulan benda arsitektural. Sebagaimana dalam realistic illusion, ruang pada era ini terbentuk dari entitas tektonik. Arsitektur pra modern membentuk ruang dengan menghadirkan materi yang bisa dirasakan, dinilai, dan diukur oleh indera.
Kita bisa melihat pemahaman ini dengan gambar-gambar yang dihasilkan pada zaman arsitektur pra modern. Misalkan dalam Nolli Map, ruang kota digambarkan terbentuk dari kumpulan bangunan yang ditampilkan menjadi outline bangunan berarsir hitam. Ini menunjukkan ruang dalam zaman pra-modern mengutamakan kehadiran material, bukan dari void yang mengitarinya.
Pemahaman ini berubah dengan munculnya Corbusian. Olehnya bangunan arsitektural memberi perhatian terhadap void daripada bangunan itu sendiri yang ditunjukkan dengan penggunaan KDB (Koefisien Dasar Bangunan) rendah dan bangunan tingkat tinggi. Bayangkan apabila Radiant City rancangan Le Corbusier digambarkan dengan Nolli Map, bangunan itu hanyalah kumpulan titik di tengah-tengah pekarangan yang luas. Nolli Map pun tidak bisa mereduksi bangunan yang berpuluh lantai itu menjadi kumpulan persegi dua dimensi, itulah mengapa Nolli Map sudah outdated dalam menggambarkan rancangan perkotaan a la Le Corbusier.
Meski demikian, dalam era modern pun ilusi ruang dalam arsitektur tak pernah lepas dari realistic illusions beralih sepenuhnya menjadi transparent illusion. Ruang dalam wacana arsitektur masihlah berada dalam tataran realistic illusion. Ruang dalam arsitektur masih sering bertukar makna dengan kata tempat. Bahkan saat pertama kali mendengar kata ruang sosial, mungkin lebih banyak arsitek yang membayangkan sebuah area tertentu yang dihidupi oleh kegiatan sosial manusia, misalkan pasar, alun-alun, jalanan, dst. Dalam Bahasa Indonesia, ruang dan tempat sering bertukar arti. Penyebutan ‘kamar tidur’ menjadi ‘ruang tidur’, kita bahkan tak memiliki penyebutan yang tepat untuk menyebut tempat menerima tamu selain ‘ruang tamu’. Dalam Bahasa Inggris, ia bertukar makna dengan room, place, ground, sphere.
Perdebatan mengenai persepsi terhadap ruang itu masih belum bisa menjawab apa yang dimaksud Lefebvre sebagai ruang sosial dan bagaimana dia membongkar dua ilusi besar di atas. Lebih-lebih nanti pada akhirnya, bagaimana persepsi Lefebvre mempengaruhi bidang ilmu arsitektur dan perancangan perkotaan?

Lanjut di Bagian 2 yak. Mau nulis lanjutannya tapi masih perlu baca lebih detail bukunya Lefebvre biar gak sesat.

Peta Kota Roma oleh Giambatista Nolli, 1748
Radiant City rancangan Le Corbusier, 1924


Kamis, 17 November 2016


                Aku.... Jika aku.... Apa itu aku.....

                Sebelum aku menyebut diriku dengan ‘aku’, maka beberapa hal harus dipertimbangkan. Kata ‘aku’ sejauh ini hanya dipakai oleh manusia. Bukan sebagai sekedar penunjuk ‘subyek’ saja, namun ‘subyek yang berkuasa’ atas dirinya sendiri. Bagaimana dengan kucing? Apa kucing yang berkaki empat dan sedang berbicara ini berhak untuk memanggil dirinya ‘aku’?

                Coba kau lihat, ‘aku’ dipakai oleh manusia, tapi hanya beberapa saja di antara mereka. Perempuan, buruh, menyebut dirinya sebagai ‘kami’. Hillary Clinton lebih banyak memakai kata ‘kami’. Anak kecil biasa menyebut diri mereka sendiri dengan nama mereka, “Rafi”, “Anggi”, “Tito”, dan seterusnya. Masyarakat Hindia Belanda, lihatlah mereka menggunakan kata ‘kami’ saat masih dijajah. Barulah setelah merdeka perbincangan dengan kata ‘kami’ perlahan menghilang. Mereka yang memakai kata ‘kami’ adalah manusia yang masih tidak mampu kekuatan atas dirinya sendiri, membuat keputusan sendiri, biasanya adalah mereka yang juga dipinggirkan.

                Tapi Donald Trump banyak memakai ‘Aku’. Dia berkuasa atas dirinya sendiri dan berhak menguasai yang lain.

                Lalu, kucing kampung ini sedang meminta diri tanpa ijin untuk memanggil dirinya sendiri sebagai ‘aku’. Bukan tanpa alasan: mataku sudah buta satu, badanku penuh goresan, sebagian badanku botak karena luka perkelahian. Aku berhak mengatakan ‘aku’, karena telah banyak pertarungan yang telah kumenangkan dan kadang berakhir kekalahan. Aku tak akan mengatakan ‘kami’, seperti para manusia dekaden itu. Lagipula aku bukan makhluk sosial.
Garfield


                Bukan aku kucing yang pertama kali mengatakan aku, Garfield, si kucing borjuis pemalas itu yang memberanikan diri menamakan dirinya ‘aku’. Meski dia masih meong-meong untuk minta sereal susu ke majikannya. Aku lebih suka Felix, dia jauh lebih lincah dan independent, menari-nari dengan pacarnya di dekat tong sampah. Namun dia juga jarang menamai dirinya 'aku'. Lihatlah Tom, kucing rendah hati, lebih banyak diam dan tidak mengatakan apa-apa, sebab jangankan punya kuasa memanggil ‘aku’, bahkan ketergantungannya pada manusia membuatnya tidak berhak untuk bicara.

                Aku yang lebih berhak dari Garfield, aku mencari makan di tong sampah, aku menentukan wanita yang akan kukawini, bertengkar hingga robek kulit di perutku dengan kekasihnya yang dahulu. Dan untuk Tom, lebih baik kau kabur dari tikus jelek bernama Jerry itu dan hidup di jalanan, asal jangan bergerombol seperti kucing-kucing bodoh yang ada di perempatan. Mereka adalah gerombolan.

               Hiduplah sepertiku, Tom dan kucing-kucing lain. Lihatlah saudara tua kita. Simba, Alex Madagascar, hingga Hobbes (teman Calvin), spesies kucing besar yang sudah berani memakai kata ‘aku’. Kapan kiranya kucing seperti kita bisa seperti mereka. Mereka adalah masa depan kita.

Sabtu, 30 Juli 2016


                Kita selalu punya alasan untuk menjadi serakah. Selalu punya ruang kosong dalam perut untuk menambah nasi di pesta makan. Selalu punya alasan untuk meninggikan gedung-gedung hingga hilang ditelan awan. ‘Kita’ hilang dalam impian, atau ‘kita’ adalah impian itu sendiri. Apa itu kebutuhan? Kita tidak tahu. Produksi semen sudah lebih dari yang kita butuhkan, tapi pabrik semen selalu punya alasan untuk menganggap pembukaan pabrik semen baru adalah sebuah kebutuhan. Kita tidak butuh semen lagi.
Kita Tidak Butuh Semen Lagi
Bansky

                Produksi semen sudah mencapai 79,8 juta ton pada tahun 2015. Di tahun yang sama, konsumsi yang terpakai hanya 60,6 juta ton. Tren grafik juga menunjukkan kapasitas produksi pabrik semen yang terus meningkat, sedangkan konsumsi semen tidak begitu menunjukkan peningkatan.
                Selain itu, mayoritas penggunaan semen pun masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Jawa menyumbangkan lebih dari 50% penggunaan semen. Tepatnya dengan angka 16,24 juta ton dari 30,12 juta ton penjualan semen nasional pada semester satu 2016. Tradisi Jawa sebagai pulau yang rakus semen tercatat setidaknya sejak tahun 2006 atau mungkin jauh lebih lama. Jawa memang sudah penuh dengan pembangunan, tapi manusianya selalu punya alasan untuk menyesakkan bangunan baru di tanah yang sempit ini.
How Much Land Does A Man Need? Kata Leo Tolstoy dua abad yang lalu. Jawabannya: tidak tahu, tidak tentu, atau mungkin juga tidak perlu dipertanyakan. Pertanyaan Tolstoy yang kemudian dijadikan sebuah cerpen tersebut akan menganggu pikiran kita. Apakah kita hanya butuh rumah dengan satu kamar tidur atau lima kamar tidur? Kamar mandi dalam atau luar? Halaman sempit untuk menanam tanaman obat atau kebun luas untuk pohon jati? Atau kita hanya butuh kolong jembatan? Pertanyaan “How much portland cement does we need?” juga sama tak terjawabnya bagi pengusaha. Namun bagi orang yang tidak serakah, maka akan mengatakan bahwa semen tersebut lebih dari cukup untuk membangun Indonesia.
                Sebuah nafsu kesetanan sedang hinggap dalam mental pembangunan Indonesia. Pemerataan hanyalah wacana, kerakusan yang abadi tumbuh dalam pembangunan Pulau Jawa.

Kita Tidak Butuh Semen Lagi
Laju produksi dan konsumsi semen di Indonesia

                Ada alasan lain mengapa kita tidak butuh lebih banyak semen saat ini. Beberapa orang mengatakan bahwa pembangunan dibutuhkan oleh masyarakat, tapi nyatanya pembangunan lebih dibutuhkan oleh pengusaha konstruksi. Bagaimana bisa?
                Seorang teman yang saat ini sedang belajar usaha konstruksi berbincang dengan saya saat hari raya kemarin. Dia ingin mempunyai perusahaan konstruksi sendiri, namun saat ini dia sedang menjadi karyawan sebagai pelaksana lapangan untuk mencari tahu seluk-beluk dunia konstruksi. Dia mengatakan bahwa pengurangan dimensi struktural adalah wajar. Selama komponen tersebut tidak kasat mata seperti pondasi, galian tanah. Tidak hanya itu, campuran spesi (adukan semen) dan pembetonan juga tidak disesuaikan dengan spesifikasi. Hal ini mengakibatkan bangunan tidak tahan lama.
                Tidak heran jika kegiatan konstruksi saat ini sering berulang-ulang di tempat sama dalam setiap tahunnya. Setelah dibangun, direnovasi, direnovasi lagi, direnovasi lagi. Hal ini yang membuat ketergantungan kita terhadap semen menjadi akut. Semen yang menjadi semacam micin membuat pengusaha konstruksi ketagihan memakannya. Dia juga mengatakan, “Lek apik-apik engko proyeke entek, terus kontraktor mangan opo?” (kalau kualitasnya bagus, tidak ada proyek lagi, kontraktor makan apa nanti?). Tunggu dulu, padahal kan Jawa menghabiskan 50% semen nasional, bagaimana bisa proyek habis atau mandeg?? Saya yang tidak asing lagi dengan kegiatan konstruksi sejak sekolah menengah memahami bahwa perspektif demikian dimiliki oleh mayoritas pekerja konstruksi.


Bisakah Pembangunan Indonesia Menjadi Berkelanjutan?

Richard Heinberg, mengatakan bahwa peradaban yang tidak menggunakan energi yang terbarukan tidak dapat bertahan lama. Energi, dalam hal ini semen/karst adalah bahan yang terbatas jumlahnya. Jika peradaban manusia yang dibangun dalam ketergantungan kepada karst, maka bukan tidak mungkin mereka akan kebingungan mencari alternatif lain untuk menggantikannya. Bahwa segala yang terbatas itu tidak mungkin dikonsumsi terus-menerus (apalagi hingga mengakibatkan kecanduan) adalah hukum yang harus dipatuhi untuk melanjutkan peradaban.
Bukan hanya energi minyak saja yang sedang krisis, pada saatnya karst tidak akan diproduksi lagi. Dan bijih besi untuk baja juga akan mengikuti kepunahan jika kita tetap “gila” pembangunan.
Saya kembali fokus dengan umur bangunan. Bangunan kayu dikatakan ramah lingkungan jika umur bangunan dari kayu tersebut bisa melampaui umur kayu saat ditebang. Artinya, jika kita menggunakan kayu jati berumur 50 tahun untuk membangun rumah misalnya, maka rumah kita tersebut minimal harus berumur 50 tahun pula. Hal ini ditujukan agar pohon jati yang lain berkesempatan tumbuh, sehingga bisa dikatakan kita tidak akan kehabisan stok kayu jati.
Lalu bagaimana dengan bangunan dengan bahan dasar beton? Apakah ada bangunan beton yang berumur minimal 470 tahun? Boro-boro 470 tahun, lima tahun sekali aja renovasi, dua puluh tahun ganti gaya arsitektur, lima tahun sekali tiap ganti bupati/gubernur/presiden sudah ganti master plan tata kotanya.[]

Referensi
http://duniaindustri.com/lampaui-estimasi-konsumsi-semen-sepanjang-2015-tumbuh-18-jadi-61-juta-ton/
http://duniaindustri.com/ditopang-pasar-sumatera-konsumsi-semen-februari-2016-tumbuh-29/
http://investasiinfrastruktur.net/semen.php?halaman=produksi
http://investasiinfrastruktur.net/semen.php?halaman=pulau

Kamis, 28 Juli 2016

Ibuku mati tahun lalu. Anakku mati dua minggu sebelum lebaran kemarin. Anakku tidak mati diracun sianida. Tak ada yang tahu namanya, tak perlu diberitakan media massa, tidak perlu pula ke meja hijau demi meminta keadilan nasib. Keadilan itu apa? Tai kucing tah?
Tentang Ibu dan Anak yang Mati
Creation of Adam, Michelangelo

Tadi siang, sebuah rumah makan memanggilku membenahi pipa wastafelnya yang bocor. Aku melintasi meja dimana lelaki bahagia bersama teman-temannya sedang makan siang. Aku tahu dia, jarak tiga rumah dariku. Rumahnya menghadap jalan, rumahku ada di gang selebar motor yang terletak di samping rumahnya. Dia berbisik sambil mengangkat cangkir kopi pada teman bicaranya, “Aku tak akan tahan kalau jadi dia.” Kenapa dia perlu berbisik, harusnya dia mengatakan persis di telingaku. Dia kira aku kira aku akan bunuh diri? Demi Tuhan, jangan samakan aku dengannya.

Jika memang karena seumur hidup aku melarat, tinggal di rumah kumuh –yang belum aku bayar uang sewanya, membawa peralatan pipa di tas kumal, dan ibu dan anak yang meninggalkanku membuatku punya alasan untuk bunuh diri. Memang pernah terlintas di benakku pikiran kotor itu, tapi aku kira aku tak pernah bergantung dengan orang lain soal nasibku. Ibu dan anakku belum tentu bahagia jika aku menyusul mereka. Dan aku tak punya daya mencegah kepergiannya. Aku masih hidup di Bumi, di planet yang sama dimana istriku juga berpijak namun di belahan yang lain.

Tetangga dengan rumah berpagar tinggi dihiasi pecahan kaca di atasnya itu, dia tidak begitu mengenal tetangganya yang kumal ini. Jika dia mengatakannya itu di depan telingaku, aku sangat bahagia. Betapa aku akan tahu bahwa kecukupan materi membuat hati manusia lemah dan demikian emosional. Betapa mata yang lemah saat dia membayangkan berada di posisiku akan menghibur diriki, aku kira.

Dan sekarang aku tahu apa guna ‘empati’ bagi seorang korban takdir seperti diriku. Empati membuat orang yang bernasib buruk sedikit terhibur, bukan karena orang lain mengerti perasaannya (mustahil itu), tapi karena ternyata dirinya lebih kuat daripada orang lain yang sudah mewek hanya karena membayangkan mengalami nasib yang sama.

Orang semacam dia itu adalah orang kafir. Iya, kafir, kalian tak salah dengar. Mereka gila kuasa akan apapun. Begitu satu barang “miliknya” diambil atau berkurang, mereka jadi gila. Begitu barangnya bertindak tidak sesuai perintah mereka naik pitam. Lihatlah, bahkan keluarganya pun dianggapnya hanya sekedar harta kekayaan. Penghargaan macam apa itu?

Dia adalah contoh terbaik keterasingan. Aku juga korban keterasingan, terasing dari kota yang berkembang lebih cepat dibanding tebal dompetku. Tapi, itu bukan salahku jika kota ini tumbuh. Itu di luar kontrol seorang tukang pipa. Namun, dia, yang berharta itu, dia menjadi asing akan materi yang diusahakannya sendiri. Dia kira bisa mengatur segalanya, dan tiba-tiba, puffffff.... Semua bergerak tak tentu arah, remote control tak bekerja lagi kali ini. Pada sebuah bencana, dia mengaku depresi sedang aku menyadari.

Ibu dan anakku mati, tak ada cuti esok hari, bocornya pipa rumah orang tidak berhenti dengan sendirinya. Dan aku masih disiksa waktu, aku mengadu pada Pastur, dan dia mengatakan itu sama sekali bukan urusan Tuhannya. Benar sekali. Urusan hatiku bukanlah urusan Tuhan, aku sendiri yang harus menenangkannya.

Sebaiknya aku tenggak air putih banyak-banyak, dan segera  menyapa kegelapan kamar. Selamat malam.

*) Fiksi yang muncul setelah menonton Searching for Sugarman dan mendengar anak bisu yang tertawa bercanda dengan bapaknya di kamar lantai bawah. 28 Juli. Duren Tiga, Jakarta.

Jumat, 22 Juli 2016

Richard Heinberg
Lima Aksioma dari Konsep Keberlanjutan
Sebagai kontribusi pada perbaikan konsep ini, saya membuat lima aksioma (self-evident truths) dari konsep keberlanjutan. Tujuan saya sederhana, yakni menyaring ide-ide yang sudah diajukan sebelumnya dan menyampaikannya dengan ringkas dan mudah dipahami.
Dalam memformulasikan aksioma tersebut, saya mempunyai kriteria sebagai berikut:
-          Untuk disebut sebagai aksioma, sebuah pernyataan harus mampu diuji menggunakan metode ilmiah.
-          Secara kolektif, satu rangkaian aksioma bermaksud menjelaskan keberlanjutan seminimal mungkin (tanpa melebih-lebihkan).
-          Pada saat bersamaan, aksioma harus mencukupi, tanpa membuat keraguan yang besar.
-          Aksioma harus dikatakan dalam kata-kata yang mudah dimengerti orang awam.

Berikut aksioma-aksioma yang diikuti dengan diskusi singkat di setiap poinnya:

Aksioma Pertama
Setiap masyarakat yang melanjutkan penggunan sumberdaya kritis yang tak-berkelanjutan akan runtuh.
Pengecualian: Masyarakat bisa menghindarinya dengan mencari sumber daya pengganti.
Batas pengecualian: dalam dunia yang terbatas, jumlah pengganti yang memungkinkan juga terbatas.
Arkeolog Joseph Tainter, dalam studi klasiknya The Collapse of Complex Societies (1988), mendemonstrasikan bahwa keruntuhan selalu berkala, jika bukan takdir universal dari masyarakat kompleks dan mengatakan bahwa keruntuhan adalah hasil akibat menolak mengusahakan kembali peningkatan tingkat kompleksitas kemasyarakat menggunakan energi yang dihasilkan lingkungan. Buku populer karangan Jared Diamond Collapse: How Societies Choose To Fail Or Succed (2005) mengatakan argumen yang serupa bahwa keruntuhan adalah takdir umum masyarakat yang mengabaikan desakan soal energi.
Aksioma ini menjelaskan ‘keberlanjutan’ melalui dampak dari pengabaiannya –hingga akhirnya, runtuh. Tainter menjelaskan keruntuhan sebagai reduksi dalam kompleksitas sosial –yang, menekan masyarakat mengenai ukuran populasinya, kecanggihan teknologi, tingkat konsumsi, dan keragaman dalam peran sosialnya. Secara sejarah, keruntuhan kadang kala berarti penolakan yang mendalam masyarakat yang dibawa oleh kekacauan, perang, wabah, ataupun paceklik. Bagaimanapun, keruntuhan juga bisa terjadi secara bertahap dalam beberapa dekade atau abad. Juga ada kemungkinan teoritis yang mengatakan bahwa masyarakat mampu memilih untuk mengurangi kompleksitas ini dalam kebiasaan yang terkontrol secara bertahap.
Saat bisa dikatakan bahwa masyarakat mampu memilih untuk berubah ketimbang runtuh, satu-satunya pilihan yang akan mempengaruhi hasil secara substantif adalah memangkas penggunaan sumberdaya kritis yang tak-berkelanjutan atau mencari sumber daya pengganti.
Automobilized Horse. (sumber: crudeoilpeak.info)
Masyarakat yang menggunakan sumber daya berkelanjutan mungkin runtuh dengan alasan lain, melalui kontrol masyarakat (sebagai hasil dari bencana alam yang membinasakannya atau penaklukan dari golongan lain yang lebih agresif), jadi tidak bisa dikatakan bahwa sebuah masyarakat yang berkelanjutan kebal terhadap keruntuhan kecuali seluruh kondisi untuk keberlanjutan terpenuhi. Aksioma pertama ini fokus terhadap konsumsi sumber daya karena ini menentukan ketahanan hidup masyarakat dalam jangka panjang secara menentu, kuantitif, dan mendasar.
Pertanyaan mengenai apa yang membuat penggunaan sumber daya dikatakan berkelanjutan atau tidak akan dijelaskan pada aksioma tiga dan empat.
Sumberdaya kritis adalah yang terpenting dalam memelihara kehidupan dan dasar fungsi sosial –termasuk (tapi tidak terbatas pada) air dan sumberdaya lain yang dibutuhkan untuk memproduksi makanan dan energi yang berguna.
‘Pengecualian’ dan ‘batas pengecualian’ aksioma pertama mengarah pada argumen umum dari pakar ekonomi pasar bebas bahwa sumber daya alternatif tersebut terbatas adanya, dan bahwa masyarakat modern yang dikendalikan pasar ini perlu dicegah untuk menghadapi krisis sumber daya, meskipun tingkat konsumsi mereka terus menanjak. Secara singkat, sumber daya pengganti menjadi siap tersedia dan bahkan lebih superior, seperti dalam kasus pertengahan abad 19 saat kerosene dari petroleum menggantikan minyak paus sebagai bahan bakar lampu. Dalam kasus lain, pergantian malah lebih buruk, seperti pergantian minyak pasir (oil sands) sebagai pengganti petroleum konvensional, padahal minyak pasir tersebut kerapatan energinya rendah, membutuhkan lebih banyak energi untuk memprosesnya, dan menghasilkan lebih banyak emisi karbon. Seiring waktu berganti, masyarakat akan memilih untuk menghabiskan sumber daya pengganti terlebih dahulu yang lebih besar dan mudah didapat, hingga keduanya ekuivalen, dan secara berangsur akan tergantung kepada pengganti yang lebih buruk tersebut untuk mengganti sumber daya yang mulai habis –kecuali kalau mereka memeriksa tingkat konsumsi mereka sendiri.
 
Aksioma Kedua
Pertumbuhan populasi dan/atau pertumbuhan dalam tingkat konsumsi sumber daya tidak dapat terus-menerus.
Pertumbuhan populasi manusia terus menanjak hingga saat ini. Bagaimana kita bisa yakin ini bisa berhenti di masa depan yang tak tentu? Aritmetika sederhana bisa digunakan untuk menunjukkan bahwa dengan pertumbuhan yang kecil sekalipun, jika berlanjut, akan menambahkan dengan besaran tak terkira –dan tak bisa didukung lagi dengan perencanaan— terhadap ukuran populasi dan tingkat konsumsi. Contohnya, 1 persen tingkat pertumbuhan populasi manusia saat ini (pertumbuhan yang aktual terjadi sudah melebihinya) akan menghasilkan dua kali lipat populasi pada 70 tahun mendatang. Maka, Bumi pada tahun 2075 akan menjadi rumah bagi 13 milyar manusia; pada 2145, akan menjadi 26 milyar; dan seterusnya. Di tahun 3050, setiap orang akan mendapatkan satu meter persegi permukaan bumi (termasuk gunung dan gurun). Kelihatannya, tidak ada yang menyangka keadaan ini –dalam beberapa poin, populasi  manusia akan turun. Mirip dengan perhitungan yang diaplikasikan untuk tingkat konsumsi.

Kamis, 21 Juli 2016

Richard Heinberg*
Apa itu Sustainability?
Richard Heinberg
 
Esensi kata ‘berkelanjutan’ (sustainable) adalah “yang mampu dipertahankan sepanjang waktu”. Selanjutnya, ini berarti setiap masyarakat yang tak-berkelanjutan (unsustainable) tidak bisa bertahan dalam jangka waktu yang lama dan akan berhenti berfungsi dalam beberapa hal.
Sayangnya, dalam beberapa tahun belakangan kata ‘berkelanjutan’ telah digunakan secara luas untuk menunjuk praktik yang lebih kepada isu lingkungan daripada lainnya. Terkadang kata ini digunakan serampangan oleh aktifis lingkungan dengan mengabaikan kegunaannya. Bagaimanapun, konsepnya sangatlah diperlukan dan harus menjadi patokan untuk semua perencanaan jangka panjang.
Mungkin tidak ada masalah untuk mengasumsikan bahwa tidak ada tatanan kehidupan manusia yang bisa dipertahankan selamanya. Astronom meyakinkan kita bahwa dalam beberapa milyar tahun Matahari akan memanas hingga samudra di Bumi akan mendidih. Maka dari itu keberlanjutan (sustainability) adalah kata yang relatif. Tampaknya beralasan bagi saya untuk menggunakan bingkai waktu peradaban-peradaban sebelumnya, dalam jangka waktu sejak ratusan hingga ribuan tahun. Maka dari itu, masyarakat berkelanjutan adalah mereka yang mampu mempertahankan diri setidaknya untuk beberapa abad.

 
Apa itu Sustainability?
Snoopy, Charles Schulz
Bagaimana Kita Menjelaskan Keberlanjutan?
Konsep keberlanjutan telah menyatu dalam tradisi masyarakat asli; contohnya, Konfederasi Iriquois Gayanashagowa, atau Hukum Agung Perdamaian**, yang menyadari dampak keputusannya dalam tujuh generasi yang akan datang.
Orang Eropa pertama yang diketahui memakai kata keberlanjutan (Jerman: Nachhaltigketi) pada tahun 1713 dalam buku Sylvicultura Oeconomica yang ditulis rimbawan dan peneliti asal Jerman Hans Carl von Carlowitz. Lalu, rimbawan Prancis dan Inggris mengadopsinya untuk penanaman tanaman sebagai “hasil-berkelanjutan kehutanan”.
Kata ini banyak digunakan setelah 1987, ketika Brundtland Report dari United Nations of World Commission on Environment and Development menjelaskan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang “memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang dalam melengkapi kebutuhannya sendiri”. Definisi ini telah terbukti sangat mempengaruhi masyarakat dan masih banyak digunakan; meskipun, definisi ini telah dikritik  mengenai kegagapannya dalam menghadapi penggunaan penggunaan sumber daya yang tak bisa diperbarui dan mengabaikan masalah pertumbuhan populasi.
Juga pada tahun 1980-an, ahli oncologi Swedia Dr. Karl-Henrik Robert bersama peneliti lainnya untuk mengembangkan sebuah konsensus sebagai syarat masyarakat berkelanjutan. Pada 1989 Robert merancang konsensus ini dalam empat poin, yang selanjutnya menjadi dasar untuk organisasi Natural Step. Berikutnya, banyak perusahaan dan kota di seluruh dunia berjanji mematuhi syarat-syarat Natural Step. Empat syarat itu adalah:
Dalam masyarakat berkelanjutan, alam bukanlah subyek yang meningkatkan secara sistematis:
1.      Konsentrasi zat yang dikeluarkan dari kerak bumi.
2.      Konsentrasi zat yang diproduksi oleh masyarakat.
3.      Degradasi dalam arti fisik.
Dan, dalam masyarakat itu:
4.      Orang bukanlah subyek yang mengondisikan perusakan secara sistematis kapasitas untuk mendapatkan kebutuhannya.
 
Apa itu Sustainability?
Anonim
Melihat kebutuhan akan catatan atau skema indikator, yang mana untuk mengukur keberlanjutan, ahli ekologi Canada William Rees dan mahasiswa sarjana (saat itu) Mathis Wackernagel mengembangkan di awal 1990-an konsep “jejak ekologis”, dijelaskan sebagai jumlah luas tanah dan air yang dibutuhkan oleh populasi manusia untuk menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk memenuhi dirinya dan untuk menyerap limbahnya, sesuai teknologi yang ada pada umumnya. Secara tersirat dalam skema ini terdapat pengertian bahwa, agar manusia mampu mencapai hidup berkelanjutan, maka jumlah jejak populasi dunia harus kurang dari total tanah dan air yang tersedia di Bumi (jejak tersebut saat ini dihitung oleh Global Footprint Network yang kira-kira 40% lebih besar dari yang bisa dihasilkan planet ini, mengindikasikan bahwa manusia sudah terlalu banyak mengonsumsi sumber daya dan sedang menjalani kebiasaan yang tidak berkelanjutan).
Sebuah penelusuran melalui survey penggunaan kata berkelanjutan dan keberlanjutan tidak mudah dilakukan. Pencarian di Amazon.com untuk kata keberlanjutan (sustainability) pada 1 April 2010 menghasilkan 8.875 judul buku yang mengandung kata tersebut. Pencarian artikel jurnal di Google Scholar menghasilkan lebih dari 108.000 pencarian, mengindikasikan ribuan artikel akademik dengan kata keberlanjutan dalam judulnya. Bagaimanapun, pembahasan secara teliti literatur menunjukkan kebanyakan kata dalam tubuh tulisan mengulangi, atau berdasarkan, defisini dan syarat yang disampaikan di atas.




Apa itu Sustainability?
Anonim

Catatan:
*) Richard Heinberg menulis buku The Party’s Over yang berbicara mengenai krisis minyak yang akan dihadapi peradaban manusia. Dia bekerja sebagai jurnalis di Amerika Serikat, saat ini sebagai editor media alternatif MuseLetter.
 **) Great Law of Peace dibuat oleh masyarakat asli Amerika yang tergabung dalam Iriquois Confederay (termasuk di dalamnya negara bagian  Mohawk, Cayuga, Onondaga, Seneca, the Oneida, and the Tuscarora)

Selanjutnya: http://www.agustira.net/2016/07/apa-itu-sustainability-aksioma-satu-dan.html